Wednesday, October 17, 2007

HARAPAN JANJI

Oleh: Remitri Subianto

Cinta tak harus memiliki. Kata-kata itu serasa tepat sekali, aku memang masih mencintai mantan kekasihku namun aku harus realistis bahwa aku tak bisa memilikinya. Ya hari ini setelah sekian waktu aku di tinggal ke Jakarta, setelah kami ber SMS-an di waktu luang di antara kesibukanku bekerja aku bertemu kembali dengannya. Suatu kebahagiaan tersendiri tentunya.
Seakan kehilangan satu episode perjalanan kehidupanku dengan dia. Aku di jemput di jalan Thamrin tempat biasa aku ngantor. Setelah sekian waktu kami menyusuri jalanan yang macet akhirnya kami parkir di sebuah restoran pusat kota. Kami memesan makanan yang ringan sekadar pengganjal perut saja yang penting pertemuanku untuk melepas kangenku. Perasaanku itu memang tidak bisa aku pendam karena dengan sendirinya wajahku akan memerah, ya seperti dulu waktu pertama kali bertemu saat kegiatan penerbitan Kampus di Universitasku, aku malu pada teman - teman saat tak sengaja aku memeluknya pada saat inaugurasi pada orientasi kampus karena bersenggolan sesame teman, wajah merahku itu tidak bisa aku sembunyikan, maklum aku baru merasakan cinta pertama. Mungkin aku agak terlambat merasakannya tapi bagiku itu tidak masalah. Waktu itu Mama memang melarangku untuk pacaran sampai aku lulus kuliah namun aku nekad saja. Kutabrak saja larangan itu saking pengennya merasakan cinta.
Dan sekarang aku bertemu lagi. Aku bangga dulu memiliki dia, sekarang tambah gemuk, tambah chic. Tapi ada semburat rahasia dari wajahnya, terlihat wajah kelelahan, kuyu nampak kurang bersemangat. Bahagiakah dia dalam perkawinannya, tanyaku dalam hati.
Dia duduk di depanku menghadap meja bulat. Dicicipinya makanan pembuka. Kupandangi dengan seksama. Dia masih seperti dulu tidak suka merokok walaupun terlihat di bibirnya kehitaman. Ya memang dia idamanku laki – laki bukan perokok, sederhana nggak neko-neko dan lebih lagi laki-laki rumahan.
Dia mulai bercerita dengan desahan panjang. Permalasalahan – permasalahan dia kuak sedikit demi sedikit. “Gimana kamu dulu menikah kalau kau terpaksa menjalani?” tanyaku kala itu.
Diminumnya gelas berisi jus yang dipesannya. Diteruskannya percakapan itu.
“Nggak tau Dik aku seakan harus menjalani pernikahan itu aku tersihir oleh keadaan, ya kesepianku disini tidak ada teman aku bercurhat. Dan cuma dia yang waktu itu mau mendengarku. Dan sekarang setelah setahun banyak sekali ketidakcocokan kemanjaanya yang membuatku menderita Dik. Segalanya harus di layani sedangkan aku, kamu tahu kan aku orang yang mandiri nggak mau dilayani pokoknya saya ini merasa bisa mengerjakan semua sedangkan dia,Ughh.” Nampak kemurungan dan kejengkelan di wajahnya.
Dari tatapan matanya aku tahu dia masih mencintaiku. Dia mulai bercerita tentang kami dulu. Dari rentetan cerita waktu pacaran dia masih ingat. Ya dulu dia memang nakal selalu menjahiliku mengganguku selalu miscall waktu aku konsentrasi belajar. Kenangan itu tak bisa dibuyarkan oleh waktu. Dan ketika kami berbocengan ke Yogja naik motor kami sangat bahagia, waktu itu kami berpelukan di jalan dan mungkin pepatah lama dunia milik kita berdua berlaku. Waktu itu kami sudah pacaran empat tahun.
“Apakah aku akan bercerai sayapun tidak tahu, walaupun saya tahu Tuhan nggak berkenan dengan itu. Tapi kalau itu jalan yang terbaik saya akan taat dengan lika – liku kehidupan ini”, Dia memulai lagi dengan keluh kesahnya. Akupun berusaha menjadi pendengar yang baik walau dalam hatiku merasakan kasihan, beginikah orang yang pernah kucintai merasakan kepedihan.
“Aku dalam pernikahan seakan tertekan dan nggak merasakan kebahagiaan, apakah seperti ini kebahagiaan itu. Akupun berusaha konsultasi dengan orang – orang yang berpengalaman dalam perkawinan, dan mungkin mereka merasakan hal yang sama, namun sekarang seakan aku merasakan sendiri seperti hukuman aku meninggalkanmu” terlihat air mata menggenang di sudut matanya. Dia nggak terlihat seperti yang aku kenal dulu laki-laki yang tegar, tegas dan keras kepala.
Memang dulu ia brengsek meninggalkanku begitu saja, seperti barang yang tak kepake di buang ke tempat sampah. Walaupun waktu itu itu aku menangis sejadi – jadinya masih ingin aku bersamanya. Dia akhirnya tetap mengucapkan kata – kata yang sangat kubenci.
“Dik aku sepertinya harus putus sama kamu aku seakan sendiri di kota ketika aku pengen sharing kamu masih disini dan aku kesepian Dik. Kamu masih harus menyelesaikan kuliahmu. Mungkin yang terjadi malah kecurigaan - kecurigaan yang akan membungkus pikiranku. Mungkin kamu selingkuh disini dan aku tidak tahu lebih baik aku memutuskan lebih dulu”. Walau dia tahu kecurigaan – kecurigaan itu tidak benar tapi dia tetap memutuskan berpisah.
Namun sekarang setelah mendengar ceritanya aku jadi trenyuh, merasakan kehidupan perkawinannya. Suatu perasaaan yang hilang yang dulu ada mulai muncul kembali. Perasaan iba ini berubah menjadi desiran hati yang dulu aku rasakan. Ah aku harus bisa melupakan walaupun dulu setengah mati melupakannya. Hampir aku dulu ingin mengakhiri hidup ini gara – gara perpisahan itu. Aku tidak mau kesekian kali menjadi bagian hitam dari perjalanan hidup ini. Aku nggak mau menjadi benalu dalam kehidupannya, berusaha aku tahan perasaanku yang mendesir. Kutampakkan wajah setegar mungkin jangan sampai kelihatan bahwa aku menaruh hati padanya.
***
Memang dulu waktu kami memulai pacaran, Redo pernah berjanji jika kita sudah memutuskan tiga kali entah siapa yang memulai kita tidak akan kembali berpacaran. Kata-kata itu seakan menyihir untuk menepati. Walaupun akhirnya juga kami putus di tengah jalan.
Memang selama pacaran ada rasa bosan, di sela - sela kuliah bertemu untuk sekedar melepas kangen. Waktu makan sore Redo selalu menjemputku untuk makan di warung mi Surabaya di pertigaan dekat GOR. Dan akupun senang menjalani itu semua. Namun disaat suntuk akupun bosen pacaran dengannya si kerempeng yang acap kali memberiku kejengkelan hanya karena sebab-sebab yang sepele. Karena janjian yang tidak tepatlah, kalau di SMS nggak bales lah, kalau di telpon nggak segera diangkatlah. Hingga suatu kali aku terucap ingin putus dengannya dan itu ditandai sebagai kali pertama terhadap janjiku waktu mulai pacaran dulu. Dan itu berulang sekali lagi.
Apakah janji itu seakan pisau belati yang akan menusuk kembali atau mempersatukan kami berdua. Ya mungkin kami seakan tersihir dengan ucapan janji itu. Kami seakan harus menepati.
***
Waktu itu aku memang harus menyelesaikan kuliahku, yang menguras waktuku dan tidak berpikir tentang pacaran. Skripsiku memang harus cepat kelar untuk menyusul Mas (ya begitu aku meyebut Redo) ke Jakarta mengikuti dia yang bekerja si suatu pabrik manufaktur. Dan akupun waktu itu bangga dengannya lulus langsung kerja itu suatu kebahagiaan yang tak bisa terungkap. Akupun dari jauh hanya bisa mengucap lega akhirnya pacarku dapat kerja.
***
Memang cita – citaku ingin menyusulnya ke Jakarta. Aku ingin bertemu dengannya kenapa dia memutuskanku kala itu. Pertanyaan itu masih terngiang. Akupun tidak tahu kenapa kami berpisah. Adakah perempuan lain di hatinya. Sungguh sakit di putus laki – laki, lebih baik memutus dari pada di putus pikirku. Memang dia cinta pertamaku yang memberi kesan dalam hatiku.
Namun aku nggak mau larut dalam kesedihan itu. Aku sibukkan dengan kuliahku. Aku ingin ber indek prestasi tiga seperti kata Mas Redo dulu, kamu kalo nggak IP segitu saya putus. Ya itu yang membuatku semangat belajar. Memang itu pengalaman dia mencari kerja itu susah, macam – macam saja perusahaan menyeleksi karyawannya.
***
Aku sekarang bekerja di sebuah perusahaan advertising yang menjadi idamamanku dari dulu. Dan kedudukankupun cukup tinggi. Bagiku uang bukan suatu masalah. Adik – adikku telah lulus semua dan itu karena aku, mobil buatan Eropa telah aku punya.Tetapi sekarang setelah umur duapuluh sembilan tahun menginjak tigapuluh aku masih begini. Ternyata kredo uang bukan segalanya dibanding kebahagiaan memang benar. Limpahan materi yang aku punya belum memberikan kesejukan dihatiku. Apartemen di Kebon Jeruk ini belum memberikan kedamaian.
Ada sesuatu yang hilang dihatiku dan itu aku harus tahu. Ada rasa sepi.
Menikahkah? Ya mungkin itu, teman - temanku sebagian sudah menggandeng anak setiap ada acara di kantor dan aku masih menjomblo. Kemana harus aku cari calon suami. Pernah temanku mengusuklan untuk ikut biro jodoh. Namun aku masih berpikir untuk apa aku ikutan acara-acara seperti itu manusia seperti etalase saling pandang-pandangan memilih pasangan di acara temu jodoh. Memilah-milah mana yang sesuai secara instant. Cinta itu di hati bukan di wajah walaupun aku nggak menampik aku suka pria ganteng namun.
”Nggak Vi pokoknya enggak aku tidak cocok acara seperti itu,”. kataku pada temanku. Mungkin itu cocok untuk lajang lain. Akupun tidak pernah datang di acara yang diadakan biro jodoh. Mengirim data terus di file oleh mereka dipih-pilih mana foto yang cantik yang ganteng dilihat umur. Ah nggak gue banget batinku.
Atau mungkin teman – teman kantorku. Mereka masih lajang – lajang kencur jauh dibawahku sedang yang berumur diatasku sudah pada menikah. Aku harus mencari strategi mendapatkan pasangan. Aku harus focus seperti waktu aku menargetkan pekerjaanku mencapai deadline. Tapi kupikir ini jodoh bukan sesuatu yang dapat aku rencanakan sesukaku menyangkut hati dan mungkin juga kehendak Sang Widhi. Aku berdoa sudah bahkan menurut orang jawa puasa Senin Kemis untuk bisa mendapatkan wangsit dari mana arah jodohku kelak. Kata primbon-primbon itu jodoh bisa di ramal dari arah yang ditentukan. Bahkan sebagian peramal sudah saya datangi(walaupun aku sendiri tidak percaya seratus persen minimal meyakinkan aku bisa dapat jodoh) tapi hanya suruh menunggu.
“Calonmu ada dari arah Timur Selatan, Nak. Tunggu saja, dia ada di Jakarta sini saja.” dengan nada tenang Pak Ramal nentram-netramin hati saya.
Bagaimana dengan pacarku yang dulu? Ya Mas Redo, kini telah memiliki istri walaupun aku kecewa namun aku bersyukur akhirnya Mas sudah menikah. Ya sekarang aku anggap tak berjodoh. Itu lebih baik daripada aku memikirkan dia dan belum tentu dirinya memikirkanku. Dan sekarangpun saya harus mencari penggantinya yang telah mengisi hatiku selama ini. Masak hanya dia lelaki, bukankah masih banyak yang masih menjomblo. Itu yang menjadi keyakinanku untuk mendapatkan kekasih. Namun sampai sekarang semenjak perpisahan itu masih susah melupakan. Kusibukkan tiap hari dengan pekerjaan. Setiap hari libur aku berusaha untuk mengadakan acara sehingga setiap malam aku bisa langsung tidur. Sambil menunggu jodoh itu datang tentunya.
***
Terdengar nada sambung dari SMS hpku. Aku tergagap dan suara itu membuyarkan lamunanku. Kubaca pelan - pelan. ‘Dik istriku meninggal.Terjd kecelakaan di tol Kebok Jeruk. Td malam pk 12.05, maafkan sy mengganggu.Aku selamat.‘ Kubaca lagi ke bawah Redo. Puji Tuhan Mas Redo selamat, dalam batinku aku berdoa semoga arwah istrinya diterima disisi-Nya.
Kulihat ke dinding sudah jam 01.00. Akupun tidak berani untuk telpon kepadanya. Sampai pagi aku hanya bisa melayang - layang tak karuan, aku tidak bisa tidur. Hampir semalaman aku berpikir tentang Mas Redo bagaimana dia, perasaan dia, kondisi dia.
Akupun merasa berdosa kemarin telah berpikir macam-macam tentang mantan kekasihku itu. Seakan aku menjadi pembunuh. Dan itu tidak bisa aku lalui begitu saja perasaanku. Seakan aku menghilangkan nyawa istri Mas Redo, dan bahkan berharap kembali padanya. Ah ini nggak mungkin sudah takdir Tuhan pikirku menghilangkan rasa bersalah.
Aku teringat akan janji kami dulu. Berjanji jika kita sudah memutuskan tiga kali entah siapa yang memulai kita tidak akan kembali. Bukankah kami baru putus pacaran dua kali, pikirku. Apakah aku akan menjadi istri Mas Redo? Mungkinkah ini jalan penggenapan janji itu. Kurasa aku harus bersabar menunggu waktu yang tepat untuk menceritakan ini. Menunggu Mas Redo merasakan duka terlebih dulu. Dan sambil menunggu dia menelponku ya itu lebih baik, tidak sopan bagiku menghubungi dia. Atau aku terlalu ketimuran, mungkin suatu kali aku saja menghubunginya. Ya mungkin dan yang lebih baik mudah-mudahan dia menghubungiku.
Omah Separo,Cikupa 9 Oktober 2007
Catatan:
Trenyuh = iba
Neko-neko = macam-macam
Saking = sangat

No comments: