Friday, October 19, 2007

TEMBANG BUKIT KAPUR

TEMBANG BUKIT KAPUR
Oleh Remitri Subianto


BAB I. RUMAH KEABADIAN


Dikeremangan malam cahaya bulan terlihat temaram, menggamit mega-mega yang mulai larut dalam peraduan. Hari ini mendung menggelayut hitam abu-abu menggambar dunia yang mulai tua. Tiada warna yang sejuk seakan waktu mulai menjadi abu tiada batas baik dan buruk membaur menjadi satu.
Mbok minyaknya entek !” Sore itu Sunar mau menyalakan senthir. Wis nganggo minyal klentik sik, mengko yen duwe duwet nggango lengo potro. Si Sunar yang dari tadi kebinggungan mencari minyak untuk menyalakan senthirnya.
Sudah beberapa bulan ini terjadi krisis yang sudah gawat mencapai batas kerendahannya. Yang ada hanya gaplek itupun susah apalagi beras tidak ada sama sekali setiap hari pasti ada yang meninggal bukan karena stroke tapi karena busung lapar yang menanjak jumlahnya.. Beras yang biasanya hanya ada di daerah Klaten pedan sekarang menjadi emas di pasir padang gurun. Negara kacau banyak sekali begal berkeliaran. Maling mencari mangsa bukan emas yang mereka cari tapi makanan sumber energi untuk melakukan aktifitas yang sudah sangat sulit didapat.
Sehari bahkan satu orang meninggal sudah menjadi hal biasa. Kuburan menjadi sesak penuh dengan mayat yang mengantri menikmati keabadian. Apalagi kemarau serasa panjang sekali. Hujan hanya menjadi impian di antara orang – orang yang malas bekerja atau bahkan mempersiapkan gabah – gabah di lumbung.
“Sudah Nar nggak usah neko – neko kamu itu sekolah ongko loro itu sudah sangat tinggi derajatnya. Sekarang kamu tidur besok bangun pagi pergi ke pekarangan cari uwi apa suweg buat ganjel perut. Kita ini masih mending bisa makan lihat itu pak Karto yang perutnya njemblung kebanyakan air atau mungkin cacing yang siap meletus. Kamu harus bertekun sama yang Widhi yang sudah memberikan kehidupan kenikmatan pada kita.” wejangan Simbok didengarkannya dengan premati dan ngati – ati. Pelan hanya kepala Sunar manggut-manggut mengiyakan.
Malam itu kampung mBetal sepi sekali tadi malam Belanda melewati perkampungan mencari pekerja yang masih nekad untuk kebebasan masyarakat tertindas. Tanpa memandang ragam kepercayaan mereka menyatu demi impian kebebasan dari penjajahan. Soedirman yang baru sore tadi melewati daerah ini menuju bukit-bukit di Pacitan yang melarikan diri dari kejaran antek – antek ratu Wilhelmina yang menyiksa orang bodoh dan gampang dibodohi.Mengapa dari dulu pemimpin-pemimpinya mudah sekali disogok kumpeni untuk melanggengkan bisnis semata menggambil pala, cengkeh, cigarettes secara murah dari negeri yang loh jinawi ini. Salahnya sendiri mudah dibodohi dari gemerincing uang yang membuat merah mata( ungkapan ini dipakai sekarang untuk obat merah). Apa nggak kapok di bodohi bahkan masih diadopsi untuk mencari harta sendiri jadi raja-raja kecil didaerah bukan untuk kemakmuran malah keadilan diri sendiri, ya tentunya nggak semua ada juga yang sinatria jujur dan wibawa.
Soedirman sang pejuang yang dari dulu mau saja memperjuangkan dapat harta tidak hanya dapat nama yang dielu-elukan seluruh bangsa ini. Nama kesohor hingga menjadi Jenderal kesohor nomer satu dari Jenderal bintang lima lainnya kalau ada.
Masyarakat merasa miris ada yang sembunyi di pegunungan - pegunungan sekitar. Desas-desus pejuang yang mundur selangkah untuk menyimpan kekuatan biar dianggap lemah agar dianggap nggak mampu untuk persiapkan meleburkan nanti Kompeni di Tanah Ngayojakarta. Cerita penyiksaan yang mereka dapat dari warga membuat ketakutan. Harta benda mereka di tinggalkan begitu saja tanpa peduli dicuri, diambil atau bahkan di bakar. Nyali mereka matikan dulu membangun kekuatan melawan masa keemasan kaum kulit putih(setelah diamati sebenarnya putih kemerahan kepanasan blentong blentong).
***
Sudah beberapa bulan kampung Mbetal mengalami paceklik. Panenan mereka dimakan wereng.hanya bisa mengandalkan timun. Tanaman kedelai yang hidup dimusim kemarau Mungkin satu bulan baru bisa panen.
Sunar baru sekolah kelas dua SR. Untuk masuk sekolah harus berjalan sepuluh kilo waktu yang begitu dekat waktu itu.Untuk menempuh itu perlu waktu tiga jam. Berangkat sekolah dari jam lima dan sampai di SR jam delapan. Tetapi Si Prenjak ini nggak punya lelah bergerak terus kipat- kipit ya itu hal biasa. Enak dan menyenangkan .Pernah suatu kali tidak punya uang untuk beli sabak dia harus menjemur kedelai yang habis di panen dengan batang dan kedelai yang belum dionceki. Setelah kering ditumbuk blang-blung blang-blung atau ia injak – injak baru kedelai keluar dari kulitnya. Dijualnya kedelai itu tanpa sepengetahuan mbah Putri. Wah Si prenjak ini berani sekali. Semangatnya melebihi gunung Lawu yang kelihatan nun jauh di timur agak mencong ke utara. Demi cita-citanya seperti Sudirman yang gagah megah mengangkasa.
Teringat waktu sekolah, Pak Broto gurunya minta ampun galaknya yang memang masih keturuna dari Pangerang Surokarto yang nyepi di Kahyangan Tirtomoyo. Setiap kali tidak bisa mengerjakan duding siap memukul mereka. Jangan harap melawan tunduk dan diam, sikap itu yang enak di pilih untuk menyelamatkan diri. Atau bisa malam-malam Sunar menghapal setiap pekalian atau pembagian dari satu sampai seratus. Tapi biasanya Sunar menghapal saat angon Sapi dengan samak pelajaran, jangan sampai keliru, kalau keliru siap di pukul. Bahkan ilmu – ilmu Aljabar bukan sesuatu yang sulit buatnya.
Karena keterbatasan orang tuanya akhirnya ia dititpkan pada saudara dari ibunya, pernahnya adiknya yang menjadi istri dari Ronggo di kampung sebelah. Kampung di sebelah kali Keduang yang menjadi cikal bakal kali besar Bengawan Solo namanya Ploso.
“Apa kamu tidak percaya pada kami Lik biar Sunar disini agar nanti jadi orang. Nggak usah kuatir masalah makan ladang kita masih banyak nanti Sunar bantu disawah atau kalau sibuk sinau nggak usah bantu ya nggak apa-apa.
Kebetulan Mbah Ronggo( biasa dia dipanggil demikian sebagai penghormatan sebagai orang yang dituakan) tidak punya putra. Dan Sunar diangkat menjadi anak bukan menjadi orang yang ngenger lagi.
Tanpa sepengetahuan Bapaknya Sunar di kirim ke Surokarto untuk meneruskan sekolah lebih lanjut
Keinginan mulianya terkabul. Tanah Jawa mulai bergejolak



SUNAR NANTI JADI PUNGGAWA ALIAS JADI MENTERI DI NEGERI INI YANG TERPAKSA MENGGUSUR TANAH TUMPAH DARAHNYA UNTUK PEMBANGUNAN WADUK GAJAH MUNGKUR


BAB II ANGIN ANGINAN
SIapa tidak kenal Menteri Pekerjaan Umum yang sungguh disegani dseluruh penjuru negeri Menteri yang kaya akan tender-tender yang siap masuk kantong untuk menggolkan proyek-proyek Mercu suar. Dilema memang aku snediri aku mau
Ya kami marah digusur begitu saja ganti rugi dua sembila rupaih itu kan munafik terhadap diriku sendri yang besar didaerah itu. Aku seakan kembali ke Ploso tempat aku dulu lahir dengan kepedihan Mbah kakung dan Mbah Putri dari anak-anakku ini.

Terombang ambing pergolakan RI
Menceritakan keluarga kelas bawah dengan mengikuti suasana peperanag yang bergolak pada masa itu. Penjajahan jepang dan Belanda, Sampai desingan peluru yang sampai meremukkan bamboo pada saat di akan pergi ke pasar.Perjalanan masa kecilnya dimana dia sampai dia sekolah sambil menaiki sepur yang berjalan.
enceritakan suasana rumah dengan segala dimensiny

BAB III. MASA SOSIALIS (tahun 1965)
Masa kanak kanak dimana ia pernah mengalami masa PKI .Partai yang sangat besar dimasa itu
Dari radio transistor terdengar pidato kenegaraan mengukuhkan Luietenant Soeharto menjadi orang nomer satu di dunia ini,dunia kecilku yang waktu itu dielu-elukan semua orang dari pembebasan Soekarno yang model raja-raja Jawa berdaulat banyak istri.
Singkong yang terasa nikmat diperutnya tertelan perlahan.Sunar duduk di dipan depan rumah gedhek peninggalan Mbah Kromo, kakeknya.




BAB IV MASA PENGASINGAN

Apa enaknya hidup meninggalkan tumpah darah yang di ambil penguasa hanya untuk memuaskan nafsu mencapai kebijakannya sendiri. Suatu daerah yang gemah ripah loh jinawi menjadi lautan air membetang menenggelamkan enam kecamatan. Menurut ukurah loh itu ada di hati ketentraman menerima berkah dari sang Widhi bukan hanya tanah atau makanan saja yang mengenyangkan dan nanti jadi lupa diri akan keprihatinan namun juga keagungan jiwa menyatu dalam raga. Sungguh suatu pengorbanan yang tiada terhitung waktu. Tumpah tenggelam dari air bah buatan manusia. Terusir dari kehidupan keseharian.
Termasuk saudara-saudaraku terusir menuju tanah Swarna dwipa negeri taklukan Majapahit yang penuh dengan daerah tak berujung tak bertuan. Babat alas gung liwang liwung tanpa manusia penghuni hanya makluk-makluk berbudi yang mau membagi tempat berteduh. Makluk hutan yang malah mungkin memiliki rasa terima kasih tak terhingga merelakan juga terusir ke dalam hutan yang lebih dalam lagi. Entah apa yang mereka kerjakan disana menjadi manusia yang kehilangan akar budaya.
Proyek mercusuar yang harus terealisasi untuk membuktikan pada ilmu yang namanya pembangunan membuat ribuan orang berbodong-bondong seperti orang dimaling tanah tumpah darahnya pindah entah tak karuan rimbanya. Pembuktian sebagai Sang Presiden raja Pembangunan supaya dicap sungguh-sungguh melaksanakan amanat rakyat. Waduk Gajah Mungkur harus terealisasi. Bedol desa harus dilaksanakan bedol artinya dicerabut semua dari akar-akarnya bahkan sampai kesari – sarinya dibawa semua untuk di ambil pathinya punggawa desa kalau mau ini bahasa halusnya di intimidasi harus mau meninggalkan bumi lahir wutah getih.
Rupiah saat itu untuk satu meter persegi hanya dihargai dua puluh sebilan rupiah. Kenyataan merelakan tanah garapannya yang siap dipanen. Padi setengah hijau terpaksa dipanen, kepedihan yang di tanggung hingga Mbah putri sakit keras loro bludrek.
“Aku wis ra kuwat le nagging urip ik”, katanya setelah sakitnya tidak sembuh-sembuh.

Sedang timunnya yang mulai berbuah harus rela dipanen, masih pentil dan cilik – cilik menjadi suatu kejadian luar biasa melebihi gunung njebluk, pagebluk buatan manusia. Intimidasi yang diterimanya menyebabkan dia dan keluarganya mengungsi di kampung terdekat. Hal ini menyebabkan sakit-sakitan sampai akhir hayatnya meninggalkan suatu keadan yang sudah tertata rapi dan kebudayaan yang sudah menyatu.
Penggusuran yang disebabkan oleh proyek Gajah mungkur, Narsi harus pisah dengan Mbah Kakung, biasa anak-anaknya menyebut orang tuanya, yang tetap berat dengan negeri Jawadwipa. Negeri antah berantah yang belum diketahui budaya, kondisi masyarakat lingkungan sekitar.
Keberanian menghadapi suku wang-wing di pulau Swarna dwipa, harus transmigrasi bedol desa ke daerah Sitiung( Siti artinya tanah yang penuh dengan butan belantara) apa kamu tahu dimana petanya itu tahun delapan puluh kalau itu tidak salah harus berangkat meninggalkan naik montor mabur wang wing yang dulu sering di pakai kumpeni untuk menyerang daerah perdikan Ambarawa ( dari namanya saja tidak bisa dipungkiri banyak rawa atau kalau sekarang tanah gambut) basis para pejuang yang sungguh nganeh – anehi maunya tinggal di daerah perbukitan kanan kiri dan agak ke bawah ada rawa Pening yang memang sudah terkenal bening tempat BaroKlining menunjukkan kesaktiannya. Si cindik cilik elek ini menunjukkan sakti mandraguna tiada bertepi tak terkalahkan dari orang – orang sakti, anak udik yang baru turun gunung mencoba kesaktiannya. Sunar jadi ingat dulu waktu dia berjuang entah.




BAB V MASA KETERASINGAN- PENCAIRAN KEGELAPAN
(1977-1980)



Di hutan Sitiung di pedalaman hutan Jambi kami berlidung dari atap rumbia babat alas menjunkalkan pohon besar sebesar kapal. Narti hanya terdiam memandangi kaki langit terbentang hijau rumah kera-kera dan dewa – dewa menyemadikan diri dikeheningan malam.Aku sekarang bersama sekawan manusia memulai kehidupan entah kapan harus aku mulai terasa keterasingan. Seperi pembuangan Adam Hawa dari tanah terjanji menuju daerah gung liwang liwung.Mengapa duh Gusti engkau memberikan cobaan begitu hebat bagi kami manusia Jawa yang terbuang.Walaupun aku tidak tahu asal –usul diriku, nenek moyangku entah dari mana mereka berasal namun aku meras kesendirian mencekan bersama Bapa Ibuku saudara- saudaraku Mbakyu Budhe Paklik Mbokcilik, Pakdhe tercerabut dari akar budayaku dipesisir kidul bukit kapur yang bagiku begitu indah sebagai wutah darah ari-ari kawah tempat mbojol dari gua garba simbokku. Aku haus akan laut Kidul yang merubah arah angina musim panen musim kemarauku disini didinginnya waktu yang habis untuk memikirkan apakah aku dan akan mati atau dimakan harimau yang belum pernah aku kenal.Atau mungkin ular Sawa yang besarnya serumahku yang mau menelan hidup-hidup seluruh jiwa ragaku. Duh Gusti mengapa engkau beri cobaan ini yang tidak terperi oleh nalarku.
Aku harus bangun pagi membabat alas lagi entah sampai kapan ini terjadi
Dengan pergolakan batinya berusaha mencari kembali tanah tersebut untuk mengenang masa kecilnya. Dengan pekarangan yang luas penuh dengan tanaman yang subur. Daerah tersebut penuh dengan tanaman kedelai dan padi yang subur
------------
Reformasi manusiawi-pemerintahan

No comments: